27 Juni.
Kemarin saya berulang tahun. Bagi banyak orang, ulang tahun adalah momen paling menyenangkan karena akan banyak orang yang akan mengucapkan bahkan memberi hadiah. Tapi bagi saya, momen ulang tahun dari tahun ke tahun adalah hal yang biasa saja dan sama saja. Momen ulang tahun bukanlah momen yang wah bagi keluarga saya. Meski demikian, saya tidak pernah merasa sedih atau apa, karena momen ulang tahun bagi saya adalah momen yang biasa saja dan sama saja. Semua berjalan begitu-begitu saja, terlalu biasa malahan. Karenanya saya seringkali heran, mengapa hal semacam ini mesti diulang dan diperingati tiap kurun waktu.
Ketika kecil, saya sering menghadiri momen ulang tahun, tapi sedikit pun saya tidak memiliki keinginan untuk merayakan ulang tahun pada masa kecil. Entahlah, mungkin karena merasa malu atau minder. Hingga dewasa, saya belum pernah sekalipun merayakan ulang tahun saya, karena saya masih merasa, ulang tahun itu adalah hal biasa dan sama saja.
Kembali ke perayaan ulang tahun. Sejujurnya semenjak adanya media sosial, saya jadi bisa mengenal apa itu ucapan ulang tahun. Tapi tetap saja, rasanya momen ulang tahun itu adalah momen yang biasa. Mungkin melalui fac*book, momen ulang tahun bisa menjadi wadah bertukar doa. Saya bahkan lupa, pernah atau tidak di dunia nyata teman saya mengucap selamat ulang tahun kepada saya, bersalaman langsung, mengucap dengan tulus. Sepertinya, sih pernah. Sekali, pas ada perkuliahan di kampus, saya mendapat ucapan selamat ulang tahun dan rengekan untuk makan-makan. Karena saya orangnya bokekan atau mempunyai uang pas-pasan, maka saya mengabaikan racauan mereka. Terlebih bagi saya momen ulang tahun itu bukanlah momen yang luar biasa atau pun khusus, karena itu hanya momen tahunan mengingat usia yang semakin bertambah. Tapi sejujurnya, ternyata mendapatkan ucapan selamat ulang tahun itu menyenangkan, terlebih ucapan itu tulus. Serius.
Di ulang tahun saya yang ke dua puluh lima ini, saya baru menyadari bahwa saya tidak pernah benar-benar dewasa. Sebaliknya, saya kian menua. Dan sepertinya sudah saatnya saya hidup realistis, bukan hanya hidup dengan gelimang mimpi anak-anak muda. Kadang saya menyesal saat menyadari usia saya sudah menginjak usia seperembat abad. Harusnya selepas sekolah menengah, saya sudah merintis meraih apa yang saya inginkan, bukan hanya menghambur-hamburkan waktu demi hal yang sepele dan tidak jelas. Sekarang ketika saya ingin meraih mimpi-mimpi saya, saya berpikir, ini harus diraih sembari membuka mata untuk hidup yang lebih realistis lagi. Saya seperti orang bodoh yang menjalani bualan dengan kemanjaan yang terus bergelayut.
Saya harus bangun dari bualan-bualan ini. Hal yang memacu saya untuk hidup realistis adalah, saya menyadari bahwa saya mulai merasa kesepian. Saya mulai menelisik orang-orang di lingkaran saya. Mereka ada, sayangnya begitu jauh. Perantauan membuat jarak yang begitu nyata, bahkan teknologi pun tak mampu mengentaskannya. Sejujurnya, saya begitu merindukan mereka. Namun, akankah mereka merindukan saya juga? Ada banyak relasi disini, ada begitu banyak hubungan yang terjalin, namun sayangnya belum ada keterikatan hati. Sekian lama perantauan, tetap saja semua yang disini masih terasa asing.
Saya harus bangun dari bualan-bualan ini. Hal yang memacu saya untuk hidup realistis adalah, saya menyadari bahwa saya mulai merasa kesepian. Selama ini saya terlalu egois dengan meninggalkan begitu banyak orang-orang yang saya sayangi. Kini saatnya saya memacu diri, saya mesti menuntaskan apa yang dulu saya awali untuk kemudian pulang. Pulang ke kehidupan mereka. Pulang untuk kembali menguatkan. Ya, rindu dan kesepian ini bilang: saya harus pulang. Secepatnya.